Latest Articles

Kisah Pilu Tentang Pemijat Tunanetra

Hari ini hatiku terasa sangat pilu. Aku baru saja berbicara lewat telepon dengan kawan lama, kawan seperjuangan sewaktu tinggal di asrama tunanetra dan kawan seperjuangan dalam banyak hal. Aku menerawang memikirkan apa yang bisa ku perbuat untuk membantu dia.

Telah setahun dia tidak lagi bekerja sebagai pramusaji di sebuah café di Bandung. Persis di saat istrinya mengandung anak kedua mereka, dia kehilangan pekerjaannya. Sumber penghasilan satu-satunya untuk menghidupi keluarga, untuk sekedar bertahan hidup dari hari ke hari. Di tengah kegembiraannya menantikan anggota keluarga baru, dia dan istri dirundung pilu berkepanjangan. Mereka belum tahu apa yang akan menjadi sumber mata pencaharian keluarga setelah hilangnya pekerjaan di café ini.

Dia akhhirnya berusaha apa saja untuk mengais rejeki. Dia harus mencari biaya untuk persalinan istrinya. Dia harus tertatih-tatih mencari sesuap nasi untuk keluarganya. Dengan tongkat besi, dia berjalan tak tahu arah. Benturan dan resiko lain selama berjuang mencari nafkah adalah tantangan tiap detik.

Dia menjual suara di mana saja dia bisa. Dia tidak bisa menunggu panggilan profesional. Keluarganya tidak bisa menunda rasa lapar. Anaknya yang masih balita tidak bisa berpuasa susu dan tidak pula berpuasa makan. Waktu terus berjalan. Air terus mengalir. Listrik terus terpakai. Cadangan makanan terus termakan.

Dia juga menunggu pasien dengan sabar. Dia coba kembali ke profesi awalnya sebagai pemijat. Mulai dini hari hingga tengah malam tak seorang pun pasien yang datang untuk meminta jasanya. Hari terus berlalu dan bualn pun terus berganti. Tanah air seperti perlahan berubah menjadi negeri tanpa masa depan baginya dan teman lain yang seprofesi dengannya.

Dia memutar otak. Dia tak boleh menyerah dengan keadaan. Dia lapar. Dia tahan. Dia haus. Dia tahan. Dia harus mengumpulkan rejeki yang dia peroleh untuk keluarga tercintanya. Dia rela berpanasan. Dia berkorban terdampar ribuan kilometer dari tempat tinggal keluarganya untuk mengais rejeki.

Dia terpaksa berpindah-pindah dari satu gerbong ke gerbong lain. Dia terpaksa berpindah dari bus satu ke bus yang lain. Dia pasang badannya menantang resiko di jalan. Dia terjatuh, terseret, tertabrak. Dia terus bangkit untuk sejumlah uang receh dari hasil menjual suara atau menjual kerupuk.

Ini bukan kali pertama aku mendengar kisah pilu ini. Sudah berkali-kali aku mendengar realita yang sama tentang apa yang telah melanda kawan-kawan yang berprofesi sebagai pemijat. Mereka banting setir mencari sumber mata pencaharian yang lain. Mereka tidak patah semangat demi tanggung jawabnya sebagai orangtua. Mereka ingin terus menafkahi keluarga walau mereka ditempa ujian kehidupan yang berat. Realita ini telah menjadi pengalaman kolektif para pemijat tunanetra.

Namun, yang paling membuatku pilu adalah negara seperti seolah menelantarkan dia dan tunanetra pada umumnya. Pemerintah menggalakkan sekolah keterampilan pijat untuk tunanetra sejak puluhan tahun lamanya. Pemerintah terus melebarkan sayap program ini dan bahkan promosinya mampu mencuci otak para karyawan di bidang sosial untuk berpikir bahwa pijat adalah solusi satu-satunya untuk tunanetra. Pijat adalah profesi yang paling realistis dan idealis di mata mereka. Ini adalah ingatan kolektif para tunanetra. Ini adalah fakta yang kami dengar dan kami alami secara kolektif.

Setelah para tunanetra mematikan potensinya yang lain hanya untuk pijat, pemerintah seperti tidak menjamin profesi pijat ini. Satu per satu panti pijat tunetra lenyap. Panti-panti pijat tunanetra banyak yang bangkrut dan mati. Sebagian besar tunanetra merana, menangis, tersiksa dihimpit roda kehidupan yang terus berputar. Keluarga dan anak-anak mereka kelaparan, tak memiliki masa depan dan bahkan tak berani untuk bermimpi.

Para pemijat dihantam oleh jasa-jasa pijat orang berpenglihatan normal. Mereka dihajar oleh panti-panti pijat “plus-plus”. Mereka diinjak oleh para raksasa pebisnis jasa pijat yang mempekerjakan orang berpenglihatan. Para tunanetra malang ini bahkan sering mengalami ketidakadilan oknum staf pemerintah yang menghancurkan plang panti mereka, memeras hasil keringat mereka hingga mereka terbentur dinding tebal dan sekarat.

Sekarang, berbagai jenis jasa pijat terus menjamur. Jasa-jasa pijat dengan alat-alat elektronik semakin merajalela. Mereka pasang harga yang sangat murah. Mereka tumbuh besar dan menjadi salah satu pengancam kehancuran jutaan pemijat tunanetra.

Tak terasa lelehan air mata terus mengalir. Aku sesak dengan kenyataan pahit ini. Para pemijat tunanetra ini sudah terlalu lama bersabar. Sudah terlalu lama terhimpit. Sudah terlalu lama terpojok. Aku ingin membantu. Aku ingin mencoba merangkul masyarakat agar mau membuka pintu peluang untuk keterampilan mereka yang lain. Banyak dari mereka yang mahir bermain musik, mahir di bidang tarik suara dan mungkin masih banyak lagi potensi yang mereka sebenarnya miliki tapi mereka tak mendapatkan kesempatan untuk berkembang.

Sudah waktunya pemerintah mencarikan jalan keluar atas permasalahan ini. Profesi mereka harus dilindungi dengan perangkat hukum. Mereka sudah kehilangan indera yang paling penting. Mereka bisa mandiri tetapi mereka butuh dukungan penuh dari pemerintah. Mereka juga memerlukan uluran tangan masyarakat agar mereka bisa menjalani kehidupan yang lebih baik.

***

Ditulis di Kompasiana oleh Taufiq Effendi, seorang tunanetra yang beruntung karena masih mampu mengembangkan potensinya di bidang lain sehingga bisa merasakan kehidupan yang lebih baik.
read more

Menjelajah Internet dalam Gelap

Penderita tunanetra, selain bisa mengetik, juga kini bisa berinternet. Komputer bicara memberi mereka kesempatan "melihat" dunia.

SEPINTAS ia seperti anak muda biasa yang sedang berselancar di internet. Duduk menghadap komputer di pojok perpustakaan Yayasan Mitra Netra (YMN), memencet tuts papan ketik, dengan kuping tertutup headphone. Tangannya terampil memainkan tombol panah yang ada pada keyboard. Sebentar-sebentar, dua jari telunjuknya mengelus huruf F dan J. Kedua huruf ini menjadi navigasi bagi delapan jari lain saat mengetik. Sesekali dahinya berkerut, seperti sedang berpikir keras.

Beberapa kali Ismail Prawira Kusuma, pemuda berumur 25 itu, membuka mesin pencari Google. Lalu mengetikkan sederet kata kunci. Lalu enter. Pencet tombol panah lagi. Naik-turun. Enter lagi. Beberapa gambar yang muncul tidak dipedulikan. Begitu seterusnya. Ismail asyik-masyuk tak terganggu orang-orang di sekelilingnya.

Rupanya, Selasa siang lalu itu, Ismail sedang sibuk mencari bahan untuk membuat tugas kuliah. Tapi, saat diperhatikan dari dekat, ternyata Ismail beda dengan anak lain. Mahasiswa Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini tak bisa melihat. Kok, bisa main internet? Itu pula bedanya dengan komputer biasa.

Sebenarnya komputer Ismail sama persis dengan yang dipakai orang normal. Huruf di papan ketik juga alfabet, bukan braille, bintik timbul khusus bagi tunanetra. Bedanya, di komputer Ismail ditanamkan software pembaca layar JAWS (job access with speech). Nah, peranti screen reader itulah yang memungkinkan seorang tunanetra bisa mengetik bahkan "membaca" informasi terkini dari media cyber.

JAWS bisa diaktifkan atau dimatikan. Jadi, kalau komputer mau dipakai tunanetra, JAWS harus diaktifkan lebih dulu. Setelah itu, komputer akan membaca ke mana pun panah diarahkan. Misalnya, panah pada monitor menunjuk pada ikon my computer, serta-merta dari komputer akan terdengar suara berat laki-laki "mai kom-pyu-ter". Begitu seterusnya.

Kalau menulis, gampang. Tiap huruf yang diketikkan, saat muncul di monitor, akan diikuti suara dari komputer. Misalnya, menulis "Gatra". Komputer akan menyuarakan "ji-e-ti-ar-e". Kok, begitu? Ini karena tiap huruf dilafalkan dalam ejaan Inggris. Kalau si penulis ingin mengetahui tulisannya benar atau salah, dia cukup memencet tombol control dan panah kiri-kanan. Komputer tak lagi membaca huruf, melainkan per kata. Asyiknya, program ini juga bisa membaca langsung satu kalimat. Tapi tetap, dengan logat bule kental.

"Kesalahan atau pengulangan kata bisa dihindari," ujar Sugiyo, staf pengajar YMN. Menurut pria yang kehilangan indra penglihatannya sejak kecil ini, JAWS bisa membedakan huruf kecil dengan huruf besar pula. "Intonasinya berbeda. Huruf besar dilafalkan dengan intonasi tinggi," Sugiyo menjelaskan kepada Miranda Hutagalung dari Gatra. Tak lupa program itu bisa menyebutkan jenis, ukuran, dan tipe huruf yang dipakai. Misalnya, "Times New Roman, italic, twelve", maksudnya yang dipilih adalah huruf jenis Times miring dengan ukuran 12.

JAWS juga bisa membimbing kaum tunanetra berlayar di dunia maya internet. Setelah halaman situs terbuka, komputer akan membacakan judul-judul berita yang ada di sana. Kalau ada berita yang ingin dibaca lengkap, setelah judul terbaca, dia tinggal tekan enter. Sehingga kaum tunanetra tak perlu takut ketinggalan isu terhangat dari proses pemilu presiden sekarang ini, misalnya.

Belajar program ini tak terlalu sulit. Syaratnya, pengguna bisa mengetik 10 jari. Ismail mengaku butuh enam bulan untuk mempelajari JAWS. "Tapi saya tidak membaca gambar. Sehingga saya tidak terganggu dengan aneka tayangan yang bisa membangkitkan gairah," ujar pria sumringah ini. Ismail kehilangan penglihatannya sejak kelas III SMA karena terkena senapan angin. Berkat komputer bersuara, Ismail sempat meraih juara pertama lomba karya tulis di kampusnya. Makanya, pria asal Karawang, Jawa Barat, ini sangat bersyukur dengan adanya mesin ketik elektronik bicara.

Tak lama lagi, bukan cuma Ismail yang bisa berselancar di internet. Akhir Juni lalu, Microsoft Indonesia bekerja sama dengan YMN membentuk pusat pelatihan teknologi informasi bagi tunanetra di empat kota. Yaitu YMN Cabang Jawa Barat di Bandung, SLB-A Yapentra Medan, Yayasan Destarata Jakarta, dan SLB-A Yapti Makassar, dengan YMN Jakarta sebagai koordinator. Kelima lembaga ini mendapat bantuan beberapa unit komputer, peranti lunak, dan biaya operasional selama satu tahun dari Microsoft.

Kurangnya perhatian akan akses komputer bagi kaum cacat netra menjadikan mereka tertinggal jauh dari kaum yang awas matanya. "Kesenjangan ini yang coba kami kurangi," ujar Cynthia Iskandar, Manajer Humas Microsoft Indonesia. Selama ini, para tunanetra harus datang ke YMN Jakarta jika ingin belajar komputer. Adanya sentra pelatihan di tiga kota lain memudahkan mereka untuk tidak jauh-jauh datang ke Ibu Kota.

Sejak didirikan pada 14 Mei 1991, YMN memang peduli pada kaum tunanetra. Bermodal satu unit komputer, sejak 1992 YMN telah memperkenalkan kursus komputer bagi penyandang tunanetra. Belum pakai JAWS saat itu. "Banyak peserta kursus yang datang dari luar Jawa. Padahal di sini kami tidak ada asrama," kata Riyanti Ekowati, Kepala Bagian Pendidikan dan Pelatihan YMN. Kini yayasan yang terletak di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, itu telah berhasil menelurkan 200 alumni yang tersebar di seluruh Indonesia.

Yayasan ini dibidani sarjana tunanetra bersama beberapa orang non-tunanetra yang bersimpati. Kegiatan sehari-hari di sana banyak dijalankan oleh kaum tunanetra sendiri. Mulai mengelola perpustakaan buku bicara online, pelatihan komputer, hingga pembuatan buku panduan berhuruf braille. Aneka buku untuk kursus itu dicetak dalam huruf braille, sehingga sangat bergantung pada MBC. Berbekal dua printer khusus buatan Norwegia pinjaman dari Departemen Pendidikan Nasional, buku-buku itu dicetak dan digandakan.

Sebenarnya, JAWS bukan barang baru di YMN. Program ini sudah dikenal beberapa tahun lalu. Tapi harganya yang mencapai US$ 1.200 membuat tidak semua tunanetra bisa menikmatinya. Apalagi, "Ada persepsi untuk apa mengajari tunanetra belajar komputer. Tidak ada gunanya," keluh Aria Indrawati, Humas YMN. Padahal, banyak yang bisa dilakukan penderita cacat netra ini. Profesi seperti penyiar radio, jurnalis, bahkan manajer, bukan lagi sebatas mimpi.

Amalia K. Mala
read more

Seabad Mesin Cetak Braille di Indonesia

SEKILAS, suasana gedung di sudut Jalan Kerkof, Leuwigajah, Kabupaten Bandung, itu terkesan lengang. Terasa kontras dibandingkan dengan kesibukan pabrik yang bertebaran di sekitarnya. Tidak banyak yang tahu, aktivitas di dalam gedung ini telah memberi sumbangan amat besar bagi --terutama-- kaum tunanetra Indonesia.

Dari tempat yang bernama Balai Penerbitan Braille Indonesia (BPBI) Abiyoso ini dicetak berbagai bacaan berhuruf braille. Mulai dari buku pelajaran Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), sampai majalah dwibulanan Gema Braille. Sejak berdiri pada 1901, satu-satunya penerbitan berhuruf braille di Indonesia ini sudah memproduksi ratusan judul buku.

Tahun lalu saja, BPBI Abiyoso mencetak 64 judul buku dengan tiras 37.000 eksemplar. Kebanyakan buku pelajaran tingkat Sekolah SD dan SLTP. "Kami memang belum bisa memenuhi kebutuhan semua tunanetra," kata Ade Suherman, Kepala BPBI Abiyoso. "Masalahnya, ya... karena terbatasnya anggaran."

Menurut dia, kaum tunanetra di Indonesia sekarang ini ada sekitar 1,8 juta orang. Di antara mereka, tak sedikit yang berpendidikan tinggi. Nah, buku-buku untuk kalangan inilah yang belum bisa dipenuhi BPBI Abiyoso. "Padahal, mereka juga sangat membutuhkan," kata Ade. Repot, memang. Sebab, BPBI Abiyoso sepenuhnya mengandalkan dana dari pemerintah, yang Rp 300 juta per tahun. Menurut Ade, dana itu pas-pasan.

Selain untuk biaya produksi, dana itu juga dipakai membayar gaji 56 pegawai --lima di antaranya tunanetra-- dan perawatan kantor. "Sedikit saja mesin rusak, kami pasti kelimpungan," kata Ade. Di tengah harga kertas membubung tinggi, Ade makin senewen. Maklumlah, kertas HVS 140 gram mutu terbaik harus diimpor dari Norwegia.

Celakanya, BPBI Abiyoso tak punya sumber pemasukan lain. Semua produksi lembaga yang berada di bawah koordinasi Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (BKSN) --institusi pengganti Departemen Sosial-- ini dibagikan gratis. Distribusinya meliputi 96 panti netra, 68 Sekolah Luar Biasa (SLB) A Tuna Netra, dan berbagai perpustakaan di seluruh Nusantara.

Kini Ade sedang mencari akal untuk menambah pemasukan. Misalnya menjual Al Quran berhuruf braille. Kitab suci agama Islam ini termasuk yang paling banyak diminati. "Saya sampai tidak ingat sudah berapa kali cetak ulangnya," kata Ade. Al Quran berhuruf braille ini bahkan diminati tunanetra dari negeri jiran, Malaysia.

Namun, karena kebanyakan tunanetra berasal dari keluarga kurang mampu, cita-cita Ade itu agaknya sulit terlaksana. Padahal, "Mereka juga membutuhkan bacaan untuk menambah wawasan," kata Ade. Karena itu, dia mencari sponsor, atau pihak-pihak yang bersedia jadi donatur, untuk membiayai penerbitan itu.

Huruf braille merupakan simbol yang terdiri dari kumpulan titik timbul (tinggi tiga titik, lebar dua titik) pada permukaan kertas. Tiap aksara dan angka dilambangkan dengan komposisi titik tertentu. Karena itu, mesin ketik maupun stereotyper braille hanya memiliki enam bilah (toets), tapi bisa digunakan untuk mengetik semua huruf dan angka.

Proses pencetakan di BPBI menempuh dua cara. Pertama dengan zincplate (lempengan seng) yang diketik dengan stereotyper. Lempeng itu dibawa ke mesin pengganda yang sudah ditempeli kertas karton manila. Kedua dengan komputer. Prosesnya sama dengan komputer biasa. Hanya saja, printer-nya sudah didesain menggunakan huruf braile.

Saat ini BPBI Abiyoso memiliki delapan unit mesin cetak zincplate, dan sembilan unit mesin komputer. Tidak sembarang kertas bisa digunakan mencetak huruf braille. Minimal kertas HVS 140 gram, atau karton manila. "Kertas biasa akan berlubang-lubang dan tidak bisa dibaca," kata Ade. Karena itu, tak heran kalau buku-buku braille memiliki ketebalan sampai 30 kali buku biasa.

Memproduksi satu judul buku braille membutuhkan waktu rata-rata sebulan. Bagian yang cukup lama adalah proses penyortirannya, karena satu persatu lembar kertas yang akan dijilid harus diraba-raba. Ini dikerjakan oleh pegawai yang tuna netra. "Lebih afdol dikerjakan tunanetra, karena merekalah yang bisa merasakan apakah hurufnya sudah cukup tajam atau belum," kata Ade Suherman.

Otih Rohaiti, 35 tahun, adalah satu di antara karyawan tunanetra itu. "Saya senang bekerja di sini, karena hidup saya bisa bermanfaat bagi sesama," kata ibu satu anak itu. Ketika Gatra berkunjung ke BPBI Abiyoao, Jumat pekan lalu, Otih sedang tekun memeriksa Al Quran yang akan dijilid. "Kita harus yakin nggak ada yang salah dalam pencetakannya," kata pegawai negeri golongan II B itu.

Menurut Ade, pegawai tunentra di BPBI Abiyoso juga berkesempatan meraih karirnya. Jabatan kepala seksi, misalnya, justru lebih tepat dijabat orang buta. Misalnya Kepala Seksi Alih Huruf, yang kini dijabat Irjanto Tedjo BA.

Dalam proses distribusi, buku braille harus diperlakukan khusus. Kiriman ini tidak boleh ditumpuk di bawah kiriman lain. Bila tertimpa kiriman lain, titik titik timbul yang menjadi simbol huruf bakal tertekan. Buku menjadi tak layak dibaca, karena satu titik saja hilang abjadnya berubah. Untuk amannya, buku-buku braille disimpan dengan cara berdiri.

Riwayat BPBI Abiyogo bermula dari hasil penelitian M.J. Lendrik, Direktur Instituut tot Onderwijs aan Blinden (sebuah lembaga swadaya masyarakat untuk orang buta) pada 1900. Saat itu Lendrik mengamati tunanetra di Indonesia sangat banyak. Untuk membantu mereka, Lendrik menyarankan mendirikan lembaga pendidikan khusus tunanetra. Setahun kemudian, pemerintah Belanda mendirikan Blinden Instituut, atau dikenal sebagai Lembaga Rumah Buta.

Lokasinya di Jalan Cicendo Nomor 2, Bandung, kini tempat berdiri Rumah Sakit Mata Cicendo. Peresmian lembaga ini dilakukan Dr. Westhoff pada 16 September 1901. Untuk memenuhi kebutuhan bacaan dan pengajaran di Rumah Buta itu, dibuka juga satu unit percetakan. Inilah yang dalam perkembangannya menjadi BPBI Abiyoso --yang mengambil nama tokoh wayang, Begawan Abiyoso, yang berputrakan Destarata yang tunanetra.

Dari lokasi semula di Jalan Cicendo, Bandung, BPBI Abiyoso kemudian hijrah ke lahan lebih luas di bilangan Leuwigajah, Cimahi. Di lokasi seluas satu hektar ini berdiri gedung kantor dan percetakan. Di kompleks itu ada pula perpustakaan tempat mengoleksi hasil-hasil BPBI Abiyoso. Perpustakaan ini terbuka untuk umum --artinya kaum tunanetra.

Salah satu pengunjung setia perpustakaan ini adalah Nadiah Sahrifah. Perempuan berusia 26 tahun yang tinggal di Jalan Kopo, Bandung, ini mengaku rutin berkunjung sebulan sekali. "Untuk menambah pengetahuan," katanya. Salah satu bacaan favoritnya adalah Majalah Gema Braille. "Saya suka membaca cerita pendek yang dibuat oleh sesama tunanetra," katanya. Majalah yang terbit sejak tahun 1959 ini tidak memuat berita politik.

Kini BPBI Abiyoso tak hanya mencetak buku. Mereka juga menghasilkan kaset rekaman untuk para tuna netra. "Buku bicara", begitu istilah yang dipakai untuk menyebut kaset tersebut. Isinya petunjuk praktis yang bisa dilakukan kaum tunanetra. Misalnya, petunjuk membuat makanan, mengolah tanaman, dan sebagainya. Tiap tahun, rata-rata 40 "Buku Bicara" dihasilkan.

Berkat selalu membaca buku-buku terbitan BPBI Abiyoso itu, para tunanetra mengaku bertambah pengetahuannya. "Saya bisa menambah pengetahuan untuk bahan ceramah saya," kata Haji Aan Johana, 57 tahun, yang sehari-hari berprofesi sebagai mubalig di Bandung. Haji Aan bersyukur, meski keadaan fisiknya tak lengkap, dia tidak kekurangan rezeki. "Alhamdulillah, saya bisa pergi haji, punya rumah, punya mobil, dan mampu menyekolahkan anak-anak," kata Ketua Ikatan Tunanetra Muslimin Indonesia itu.

[Taufik Abriansyah, dan Sulhan Syafei (Bandung)]
read more

Huruf Braille di Tangga Jalan

Seorang wanita tunanetra menggagas fasilitas kota bagi kaum cacat. Stasiun Gambir jadi proyek percontohan.

BAGI para penyandang cacat tubuh, Stasiun Gambir kini terkesan lebih ramah. Stasiun kereta api terbesar di Jakarta, yang terletak di sisi timur pelataran Monumen Nasional, itu telah dilengkapi beberapa fasilitas khusus untuk mereka. Bagi para tunanetra, misalnya, begitu memasuki pintu utama, mereka tinggal memijit bel di sisi kiri.

Petugas khusus akan segera datang membantu. Misalnya: membimbing mereka ke loket penjualan karcis, menunjukkan kamar kecil, hingga menuntun naik ke gerbong kereta api. Mereka juga bisa membaca petunjuk berhuruf braille, yang terpasang di pegangan semua eskalator atau tangga berjalan. Di situ, antara lain, ditunjukkan arah loket, jalur kereta, ruang tunggu, dan pintu keluar.

Untuk penyandang cacat berkursi roda, tersedia kamar kecil, wastafel, dan telepon umum yang dirancang khusus. Masing-masing diberi tanda bergambar... ya kursi roda. Di antara deretan bilik di peturasan, baik untuk pria maupun wanita, ada pula satu bilik yang didesain berbeda. Pintu kamar kecil lain membuka ke dalam, sedangkan pintu bagi penyandang cacat membuka ke luar.

Ukuran pintu itu juga dibuat lebih besar, sehingga para pengguna kursi roda bisa masuk dengan leluasa. Di bilik khusus itu juga terpasang pegangan besi. Wastafel bagi penyandang cacat dibuat sekitar 15 sentimeter lebih rendah daripada wastafel yang lain, agar bisa dijangkau dari kursi roda. Begitu juga dengan telepon umum.

Untuk membantu para penyandang cacat itu, manajemen Stasiun Gambir saat ini mempekerjakan 30 petugas yang telah dilatih khusus. Untuk melayani para tunanetra, tunarungu, dan pengidap keterbelakangan mental, mereka telah mendapat pelatihan dari para guru dari sekolah luar biasa. Sedangkan untuk melayani para tunadaksa, yang umumnya berkursi roda, para petugas itu mendapat "pembekalan" dari para pelatih dari Yayasan Stroke Indonesia.

"Kami berharap, para calon penumpang penyandang cacat kini bisa lebih nyaman," kata Kepala Stasiun Gambir, Bey Aris. Gambir kini memang jadi satu-satunya stasiun kereta api di Tanah Air yang dilengkapi fasilitas bagi para penyandang cacat. Bahkan, kabarnya, nanti di sana dibangun pula tangga berputar khusus bagi pengguna kursi roda yang harus naik ke lantai atas, seperti di Hong Kong.

Adalah Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia (HWPCI) yang menggagas proyek kemanusiaan ini, melalui perjuangan yang cukup panjang. "Tujuan kami sederhana: ingin hidup mandiri tanpa membebani orang lain," kata Hajah Ariani Abdul Mun'im, Ketua Umum HWPCI, pencetus gagasan itu. Ariani membentuk HWPCI bersama belasan temannya pada 9 September 1997.

Organisasi sosial itu berkantor di Jalan Cempaka Putih Raya, Jakarta Pusat. Idenya membentuk wadah penyandang cacat muncul sepulang dari Maryland, Amerika Serikat, setelah mengikuti International Leadership Forum for Women With Disabilities. Dalam forum itu, negara-negara Asia Pasifik, termasuk Indonesia, dianggap belum berhasil mengangkat nasib wanita penyandang cacat.

"Di sini jangankan wanita, pria cacat saja masih terabaikan," kata wanita penyandang cacat netra itu. Ariani kehilangan penglihatannya akibat rabun sejak remaja. "Saya cuma bisa membaca sampai tamat sekolah lanjutan tingkat pertama," tuturnya kepada Mariana Ariestyawati dari Gatra. "Setelah itu harus dibacakan orang lain, karena tak bisa melihat lagi," ia menambahkan, tanpa merinci penyakitnya.

Toh, wanita kelahiran Malang, Jawa Timur, 30 Desember 1945, itu mampu menyelesaikan sekolah menengah umum. Bahkan berhasil menggondol ijazah sarjana antropologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Tak cuma itu. Abdul Mun'im, sang suami yang telah diberinya tiga putri itu, pun digaetnya semasa ia aktif di Dewan Mahasiswa UGM.

Setamat kuliah, 1966, Ariani langsung menerjuni kegiatan sosial dengan menjadi pengurus Persatuan Tunanetra Indonesia Cabang Yogyakarta. Berkiprah di lembaga itu membuat Ariani makin mengenali pribadi para penyandang cacat. Ia yakin, potensi para penyandang cacat sebenarnya tak berbeda dengan manusia normal. "Secara inteligensia, mereka normal," ujarnya.

Kalau hambatan fisik mereka bisa diatasi, kata Ariani, "Mereka bisa berkarya seperti yang lain." Namun, perhatian masyarakat kepada mereka sangat kurang. Lebih-lebih kepada kaum cacat wanita, yang dalam keadaan normal pun masih berhadapan dengan soal diskriminasi gender.

Ariani berharap, melalui wadah HWPCI yang dipimpinnya, para wanita penyandang cacat mampu memotivasi diri untuk meningkatkan perannya di masyarakat. Saat ini, katanya, di Indonesia terdapat sekitar 5,5 juta wanita penyandang cacat. Sejak dibentuk, kata Ariani, HWPCI terus berupaya mengampanyekan gerakan aksesibilitas umum bagi penderita cacat.

"Untuk bisa berpartisipasi penuh di masyarakat, kami perlu akses dengan berupaya menanggulangi rintangan hidup," katanya. Pembangunan fasilitas umum di kota-kota, selama ini, dianggapnya tidak memperhatikan keterbatasan para penyandang cacat. "Padahal, para penyandang cacat dijamin undang-undang untuk mendapatkan fasilitas itu," kata Ariani.

Ia lalu menunjuk Undang-Undang Nomor 4/1997 tentang Penyandang Cacat. Salah satu pasalnya berbunyi: "Penyediaan aksesibilitas bagi penyandang cacat dapat berupa sarana fisik dan nonfisik. Antara lain, sarana dan prasarana umum yang diperlukan mereka untuk memperoleh kesamaan kesempatan." Bertolak dari jaminan hukum itu, Ariani menggagas konsep pembangunan fasilitas kota yang bisa menolong kesulitan hidup para penyangdang cacat.

Ia memimpikan, kelak sarana umum seperti stasiun, terminal, dan alat transportasi massa dilengkapi fasilitas khusus bagi orang-orang yang secara fisik tidak beruntung. Bersama Persatuan Penyandang Cacat Indonesia -organisasi induk HWPCI- Ariani berusaha melobi para pejabat. Konsep "Pembangunan Kota untuk Semua", yang digagas Ariani, ternyata didukung Ikatan Arsitektur Indonesia.

Para arsitektur menyatakan bersedia merancang desain fasilitas kota bagi para penyandang cacat. "Saya menyampaikan gagasan ini sejak HWPCI dibentuk," kata Ariani. "Tapi, banyak pejabat tak tertarik." Namun, tekad keras Ariani ternyata disambut hangat Ibu Negara, Nyonya Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, dan Menteri Perhubungan, Agum Gumelar.

Setelah itu, Ariani menyampaikan gagasannya kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Presiden pun ternyata tak keberatan. Maka, pada 4 Juni 2000, dicanangkanlah Gerakan Aksesibilitas Umum Nasional di Stasiun Gambir, langsung oleh Presiden Wahid. Stasiun Gambir dijadikan proyek percontohan, karena kereta api dianggap alat transportasi massal yang murah dan paling merakyat. "Kelak, tempat- tempat sarana umum lain diharapkan bisa mengikutinya," kata Ariani.

Endang Sukendar
read more

Microchip di Bola Mata Si Buta

Peneliti Amerika berhasil membuat retina artifisial dari sekeping microchip silikon untuk tunanetra. Cara kerjanya mirip kamera video.

SEBERKAS cahaya harapan mulai berpijar di tengah kegelapan kaum tunanetra. Kebutaan kini bukan lagi menjadi cacat yang tidak terobati. Tim peneliti dari tiga universitas kondang di Amerika -North Carolina State University, University of North Carolina, dan Johns Hopkins University- membuka tahun 1997 dengan mengumumkan keberhasilan mereka menciptakan artificial retina component chip. Microchip sebesar sayatan kecil daun bawang itu terbukti bisa menolong penyandang cacat retinal pigmentosa kehilangan penglihatan karena rusaknya retina.

Upaya membuat retina buatan ini dirintis sejak 1988 oleh Dr. Mark Humayun dan Dr. Eugene de Juan, dua peneliti Johns Hopkins. Mula-mula mereka melakukan eksperimen dengan memberikan rangsangan listrik terhadap saraf ganglia, yang terletak di bagian belakang kumpulan sel retina di bagian belakang bola mata para tunanetra. Ternyata muncul respons yang mencengangkan. Para tunanetra itu merasa dirinya melihat seberkas cahaya di mata mereka.

Atas dasar penelitian itu, Humayun dan de Juan menyimpulkan bahwa saraf ganglia kaum tunanetra itu bisa jadi masih berfungsi baik meski sel retina mereka rusak. Mereka lalu berhipotesis, bila ada alat yang bisa berfungsi seperti retina mengirimkan sinyal elektrik ke ganglia itu, pasien tunanetra itu bisa melihat kembali. Sederhana. Maka mereka pun meminta Dr. Wentai Liu, profesor bidang mikorelektrik di North Carolina State University dan Elliot McGucken, pakar chip University of North Carolina di Chapel Hill, untuk merancang sebuah retina buatan.

Tentu merancang retina artifisial dengan spesifikasi yang rumit itu bukan urusan sepele. ''Kami menghadapi masalah yang kompleks,'' kata Liu. Salah satu hal diperhitungkan oleh Liu adalah aspek biokompatibilitasnya - kesesuaiannya dengan tubuh manusia. Agar tak terjadi reaksi penolakan, Liu dan McGucken memilih silikon, bahan yang telah terbukti cocok untuk ditanam di tubuh manusia. Ukuran microchip itu juga harus kecil agar bisa dicangkokkan ke bola mata tanpa mengganggu bagian lainnya.

Liu dan McGucken lalu mendesain retina buatan itu dari sekeping chip silikon yang dilapisi dengan sel fotosensor dan elektroda di bagian luarnya. Ukuran chip itu amat mungil: besarnya cuma 2 mm persegi dan tebalnya 0,02 mm -lebih tipis dari kertas tisu. Kendala rumit yang menghadangnya adalah problem sumber tenaga listriknya untuk menjalankan microchip itu. Liu dan McGucken sempat berpikir tentang baterai. Tapi sulit merancang baterai dalam ukuran mikro. Lagi pula baterai itu harus tahan terhadap kondisi mata yang basah dan mengandung garam. Masalah lainnya, pasien harus dioperasi secara berkala untuk mengganti baterai bila telah soak.

Akhirnya Liu dan McGucken memilih sel fotovoltaik sebagai sumber listriknya. Komponen yang biasa disebut solar cell itu ditempelkan pada sisi luar microchip. Dengan sel fotovoltaik ini, selain tahan kondisi basah, juga tak perlu lagi operasi penggantian baterai. Ia cuma butuh cahaya yang bisa dipasok melalui lensa mata. Bila daya di sel surya ini mulai melemah, pengisiannya mudah: tinggal ditembak dengan sinar laser dari luar.

Retina buatan ini nantinya ditanamkan di pusat penglihatan di retina, tepat di depan saraf ganglia. Cara kerjanya mirip dengan kamera video. Sinar yang masuk melalui bola mata tunanetra itu ditangkap oleh sensor cahaya, kemudian diubah oleh elektroda menjadi sinyal listrik dengan pola khas -sesuai dengan intensitas dan spektrum cahaya yang mengenainya. Microchip itu membantu mendekonstruksikan cahaya masuk, yang pada hakikatnya ialah bayangan benda itu.

Denyut listrik itu kemudian diteruskan ke sebuah lempeng yang akan merangsang saraf ganglia. Lempengan yang dipasang di antara elektroda dan saraf ganglia itu berfungsi pula melindungi serabut mata agar tak rusak oleh arus listrik. Saraf ganglia kemudian meneruskan sinyal itu ke otak, yang akan merekonstruksikan impuls listrik itu menjadi gambar atau wujud benda.

Retina buatan itu sudah diuji Universitas Negeri North Carolina pada pasien secara terbatas. Hasilnya menggembirakan. ''Walau gambar yang dihasilkan masih buram, retina buatan ini bisa menghadirkan sosok benda yang di depan mata si buta,'' kata McGucken. Kini Liu dan McGucken masih sibuk menyempurnakannya.

Pertengahan tahun ini prototipe retina buatan ini dikirim ke Johns Hopkins untuk diuji biokompatibilitasnya oleh Humayun dan de Juan.

Kalau tak ada persoalan penolakan tubuh, microchip ini akan diuji pada mata manusia secara lebih luas. Masih butuh waktu cukup panjang sebelum alat ini bisa diproduksi untuk umum, dan menolong penderita kebutaan retinal pigmentosa, yang jumlahnya diperkirakan 10 juta orang di seluruh dunia.

Bambang Sujatmoko
read more

Kemana Saja Bantuan Pemerintah untuk Panti Pijat

CILANDAK (Pos Kota) – Meningkatkan kualitas hidup penderita tuna netra, Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan mengadakan pelatihan manajemen terhadap 20 dari 35 panti pijat tuna netra di Jaksel.

“Tahun ini Sudin Sosial Jaksel memberi pembinaan manajemen dan bantuan barang-barang kepada 20 dari 35 panti pijat yang terdata,” Kasudin Sosial Jaksel, Abdurahman Anwar.

Pelatihan untuk manajemen bisnis bagi pengelola panti pijat tuna netra sangat penting demi memperbaiki taraf ekonomi. Terlebih lagi selama ini pengelolaan uang dan kondisi tempat panti pijat belum dikelola dengan baik.

Kepala Seksi Rehabilitasi Sudin Sosial Jaksel, Miftahul Huda menambahkan 20 panti pijat itu juga mendapatkan bantuan seperti seprei dan kipas angin agar pengunjung menjadi lebih nyaman.

“Pelatihan dan bantuan diberikan kepada panti pijat yang paling aktif dengan jumlah pengunjung yang banyak,” urainya.

Di antara panti pijat yang mendapat bantuan tersebut berlokasi di Tebet dan Pasar Minggu.

SUKU Dinas Sosial (Sudinsos) wilayah Jakarta Selatan, akan membantu 20 panti pijat tunanetra di Jakarta selatan, sehingga dapat mampu bersaing dengan panti pijat yang normalnya.

Kepala Seksi Rehabilitasi Sudin Jakarta Selatan, Miftahul Huda mengatakan, ada sekitar 35 panti pijat tunanetra di wilayah Jakarta Selatan. Namun, untuk yang mendapat bantuan hanya 20 panti pijat tunanetra.

"Bantuannya macam-macam, berupa barang fasilitas," ujar Miftahul Huda, Jumat (23/8).

Dikatakannya, panti pijat yang akan diberikan bantuan hanyalah yang paling aktif, dalam artian banyak pengunjung sehingga peluang untuk mendapatkan bantuan semakin tinggi.

"Kalau untuk contoh bantuan barang itu seperti jam bicara, sprei, dan kipas angin," tuturnya.

Sementara itu, untuk wilayah panti pijat tunanetra yang paling banyak didapati di kawasan Pasar Minggu dan Tebet.

Namun demikian, kata Miftahul, yang dimaksud diberi bantuan kepada panti pijat tunanetra tersebut, agar mampu bersaing dengan panti pijat lainnya. "Karena dia selalu kalah dengan panti pijat normalnya," ucapnya.

Dari beberapa sumber.
Bantuannya sampai jogja tidak ya?

read more