Menjelajah Internet dalam Gelap

Penderita tunanetra, selain bisa mengetik, juga kini bisa berinternet. Komputer bicara memberi mereka kesempatan "melihat" dunia.

SEPINTAS ia seperti anak muda biasa yang sedang berselancar di internet. Duduk menghadap komputer di pojok perpustakaan Yayasan Mitra Netra (YMN), memencet tuts papan ketik, dengan kuping tertutup headphone. Tangannya terampil memainkan tombol panah yang ada pada keyboard. Sebentar-sebentar, dua jari telunjuknya mengelus huruf F dan J. Kedua huruf ini menjadi navigasi bagi delapan jari lain saat mengetik. Sesekali dahinya berkerut, seperti sedang berpikir keras.

Beberapa kali Ismail Prawira Kusuma, pemuda berumur 25 itu, membuka mesin pencari Google. Lalu mengetikkan sederet kata kunci. Lalu enter. Pencet tombol panah lagi. Naik-turun. Enter lagi. Beberapa gambar yang muncul tidak dipedulikan. Begitu seterusnya. Ismail asyik-masyuk tak terganggu orang-orang di sekelilingnya.

Rupanya, Selasa siang lalu itu, Ismail sedang sibuk mencari bahan untuk membuat tugas kuliah. Tapi, saat diperhatikan dari dekat, ternyata Ismail beda dengan anak lain. Mahasiswa Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini tak bisa melihat. Kok, bisa main internet? Itu pula bedanya dengan komputer biasa.

Sebenarnya komputer Ismail sama persis dengan yang dipakai orang normal. Huruf di papan ketik juga alfabet, bukan braille, bintik timbul khusus bagi tunanetra. Bedanya, di komputer Ismail ditanamkan software pembaca layar JAWS (job access with speech). Nah, peranti screen reader itulah yang memungkinkan seorang tunanetra bisa mengetik bahkan "membaca" informasi terkini dari media cyber.

JAWS bisa diaktifkan atau dimatikan. Jadi, kalau komputer mau dipakai tunanetra, JAWS harus diaktifkan lebih dulu. Setelah itu, komputer akan membaca ke mana pun panah diarahkan. Misalnya, panah pada monitor menunjuk pada ikon my computer, serta-merta dari komputer akan terdengar suara berat laki-laki "mai kom-pyu-ter". Begitu seterusnya.

Kalau menulis, gampang. Tiap huruf yang diketikkan, saat muncul di monitor, akan diikuti suara dari komputer. Misalnya, menulis "Gatra". Komputer akan menyuarakan "ji-e-ti-ar-e". Kok, begitu? Ini karena tiap huruf dilafalkan dalam ejaan Inggris. Kalau si penulis ingin mengetahui tulisannya benar atau salah, dia cukup memencet tombol control dan panah kiri-kanan. Komputer tak lagi membaca huruf, melainkan per kata. Asyiknya, program ini juga bisa membaca langsung satu kalimat. Tapi tetap, dengan logat bule kental.

"Kesalahan atau pengulangan kata bisa dihindari," ujar Sugiyo, staf pengajar YMN. Menurut pria yang kehilangan indra penglihatannya sejak kecil ini, JAWS bisa membedakan huruf kecil dengan huruf besar pula. "Intonasinya berbeda. Huruf besar dilafalkan dengan intonasi tinggi," Sugiyo menjelaskan kepada Miranda Hutagalung dari Gatra. Tak lupa program itu bisa menyebutkan jenis, ukuran, dan tipe huruf yang dipakai. Misalnya, "Times New Roman, italic, twelve", maksudnya yang dipilih adalah huruf jenis Times miring dengan ukuran 12.

JAWS juga bisa membimbing kaum tunanetra berlayar di dunia maya internet. Setelah halaman situs terbuka, komputer akan membacakan judul-judul berita yang ada di sana. Kalau ada berita yang ingin dibaca lengkap, setelah judul terbaca, dia tinggal tekan enter. Sehingga kaum tunanetra tak perlu takut ketinggalan isu terhangat dari proses pemilu presiden sekarang ini, misalnya.

Belajar program ini tak terlalu sulit. Syaratnya, pengguna bisa mengetik 10 jari. Ismail mengaku butuh enam bulan untuk mempelajari JAWS. "Tapi saya tidak membaca gambar. Sehingga saya tidak terganggu dengan aneka tayangan yang bisa membangkitkan gairah," ujar pria sumringah ini. Ismail kehilangan penglihatannya sejak kelas III SMA karena terkena senapan angin. Berkat komputer bersuara, Ismail sempat meraih juara pertama lomba karya tulis di kampusnya. Makanya, pria asal Karawang, Jawa Barat, ini sangat bersyukur dengan adanya mesin ketik elektronik bicara.

Tak lama lagi, bukan cuma Ismail yang bisa berselancar di internet. Akhir Juni lalu, Microsoft Indonesia bekerja sama dengan YMN membentuk pusat pelatihan teknologi informasi bagi tunanetra di empat kota. Yaitu YMN Cabang Jawa Barat di Bandung, SLB-A Yapentra Medan, Yayasan Destarata Jakarta, dan SLB-A Yapti Makassar, dengan YMN Jakarta sebagai koordinator. Kelima lembaga ini mendapat bantuan beberapa unit komputer, peranti lunak, dan biaya operasional selama satu tahun dari Microsoft.

Kurangnya perhatian akan akses komputer bagi kaum cacat netra menjadikan mereka tertinggal jauh dari kaum yang awas matanya. "Kesenjangan ini yang coba kami kurangi," ujar Cynthia Iskandar, Manajer Humas Microsoft Indonesia. Selama ini, para tunanetra harus datang ke YMN Jakarta jika ingin belajar komputer. Adanya sentra pelatihan di tiga kota lain memudahkan mereka untuk tidak jauh-jauh datang ke Ibu Kota.

Sejak didirikan pada 14 Mei 1991, YMN memang peduli pada kaum tunanetra. Bermodal satu unit komputer, sejak 1992 YMN telah memperkenalkan kursus komputer bagi penyandang tunanetra. Belum pakai JAWS saat itu. "Banyak peserta kursus yang datang dari luar Jawa. Padahal di sini kami tidak ada asrama," kata Riyanti Ekowati, Kepala Bagian Pendidikan dan Pelatihan YMN. Kini yayasan yang terletak di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, itu telah berhasil menelurkan 200 alumni yang tersebar di seluruh Indonesia.

Yayasan ini dibidani sarjana tunanetra bersama beberapa orang non-tunanetra yang bersimpati. Kegiatan sehari-hari di sana banyak dijalankan oleh kaum tunanetra sendiri. Mulai mengelola perpustakaan buku bicara online, pelatihan komputer, hingga pembuatan buku panduan berhuruf braille. Aneka buku untuk kursus itu dicetak dalam huruf braille, sehingga sangat bergantung pada MBC. Berbekal dua printer khusus buatan Norwegia pinjaman dari Departemen Pendidikan Nasional, buku-buku itu dicetak dan digandakan.

Sebenarnya, JAWS bukan barang baru di YMN. Program ini sudah dikenal beberapa tahun lalu. Tapi harganya yang mencapai US$ 1.200 membuat tidak semua tunanetra bisa menikmatinya. Apalagi, "Ada persepsi untuk apa mengajari tunanetra belajar komputer. Tidak ada gunanya," keluh Aria Indrawati, Humas YMN. Padahal, banyak yang bisa dilakukan penderita cacat netra ini. Profesi seperti penyiar radio, jurnalis, bahkan manajer, bukan lagi sebatas mimpi.

Amalia K. Mala

0 komentar: