Seabad Mesin Cetak Braille di Indonesia

SEKILAS, suasana gedung di sudut Jalan Kerkof, Leuwigajah, Kabupaten Bandung, itu terkesan lengang. Terasa kontras dibandingkan dengan kesibukan pabrik yang bertebaran di sekitarnya. Tidak banyak yang tahu, aktivitas di dalam gedung ini telah memberi sumbangan amat besar bagi --terutama-- kaum tunanetra Indonesia.

Dari tempat yang bernama Balai Penerbitan Braille Indonesia (BPBI) Abiyoso ini dicetak berbagai bacaan berhuruf braille. Mulai dari buku pelajaran Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), sampai majalah dwibulanan Gema Braille. Sejak berdiri pada 1901, satu-satunya penerbitan berhuruf braille di Indonesia ini sudah memproduksi ratusan judul buku.

Tahun lalu saja, BPBI Abiyoso mencetak 64 judul buku dengan tiras 37.000 eksemplar. Kebanyakan buku pelajaran tingkat Sekolah SD dan SLTP. "Kami memang belum bisa memenuhi kebutuhan semua tunanetra," kata Ade Suherman, Kepala BPBI Abiyoso. "Masalahnya, ya... karena terbatasnya anggaran."

Menurut dia, kaum tunanetra di Indonesia sekarang ini ada sekitar 1,8 juta orang. Di antara mereka, tak sedikit yang berpendidikan tinggi. Nah, buku-buku untuk kalangan inilah yang belum bisa dipenuhi BPBI Abiyoso. "Padahal, mereka juga sangat membutuhkan," kata Ade. Repot, memang. Sebab, BPBI Abiyoso sepenuhnya mengandalkan dana dari pemerintah, yang Rp 300 juta per tahun. Menurut Ade, dana itu pas-pasan.

Selain untuk biaya produksi, dana itu juga dipakai membayar gaji 56 pegawai --lima di antaranya tunanetra-- dan perawatan kantor. "Sedikit saja mesin rusak, kami pasti kelimpungan," kata Ade. Di tengah harga kertas membubung tinggi, Ade makin senewen. Maklumlah, kertas HVS 140 gram mutu terbaik harus diimpor dari Norwegia.

Celakanya, BPBI Abiyoso tak punya sumber pemasukan lain. Semua produksi lembaga yang berada di bawah koordinasi Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (BKSN) --institusi pengganti Departemen Sosial-- ini dibagikan gratis. Distribusinya meliputi 96 panti netra, 68 Sekolah Luar Biasa (SLB) A Tuna Netra, dan berbagai perpustakaan di seluruh Nusantara.

Kini Ade sedang mencari akal untuk menambah pemasukan. Misalnya menjual Al Quran berhuruf braille. Kitab suci agama Islam ini termasuk yang paling banyak diminati. "Saya sampai tidak ingat sudah berapa kali cetak ulangnya," kata Ade. Al Quran berhuruf braille ini bahkan diminati tunanetra dari negeri jiran, Malaysia.

Namun, karena kebanyakan tunanetra berasal dari keluarga kurang mampu, cita-cita Ade itu agaknya sulit terlaksana. Padahal, "Mereka juga membutuhkan bacaan untuk menambah wawasan," kata Ade. Karena itu, dia mencari sponsor, atau pihak-pihak yang bersedia jadi donatur, untuk membiayai penerbitan itu.

Huruf braille merupakan simbol yang terdiri dari kumpulan titik timbul (tinggi tiga titik, lebar dua titik) pada permukaan kertas. Tiap aksara dan angka dilambangkan dengan komposisi titik tertentu. Karena itu, mesin ketik maupun stereotyper braille hanya memiliki enam bilah (toets), tapi bisa digunakan untuk mengetik semua huruf dan angka.

Proses pencetakan di BPBI menempuh dua cara. Pertama dengan zincplate (lempengan seng) yang diketik dengan stereotyper. Lempeng itu dibawa ke mesin pengganda yang sudah ditempeli kertas karton manila. Kedua dengan komputer. Prosesnya sama dengan komputer biasa. Hanya saja, printer-nya sudah didesain menggunakan huruf braile.

Saat ini BPBI Abiyoso memiliki delapan unit mesin cetak zincplate, dan sembilan unit mesin komputer. Tidak sembarang kertas bisa digunakan mencetak huruf braille. Minimal kertas HVS 140 gram, atau karton manila. "Kertas biasa akan berlubang-lubang dan tidak bisa dibaca," kata Ade. Karena itu, tak heran kalau buku-buku braille memiliki ketebalan sampai 30 kali buku biasa.

Memproduksi satu judul buku braille membutuhkan waktu rata-rata sebulan. Bagian yang cukup lama adalah proses penyortirannya, karena satu persatu lembar kertas yang akan dijilid harus diraba-raba. Ini dikerjakan oleh pegawai yang tuna netra. "Lebih afdol dikerjakan tunanetra, karena merekalah yang bisa merasakan apakah hurufnya sudah cukup tajam atau belum," kata Ade Suherman.

Otih Rohaiti, 35 tahun, adalah satu di antara karyawan tunanetra itu. "Saya senang bekerja di sini, karena hidup saya bisa bermanfaat bagi sesama," kata ibu satu anak itu. Ketika Gatra berkunjung ke BPBI Abiyoao, Jumat pekan lalu, Otih sedang tekun memeriksa Al Quran yang akan dijilid. "Kita harus yakin nggak ada yang salah dalam pencetakannya," kata pegawai negeri golongan II B itu.

Menurut Ade, pegawai tunentra di BPBI Abiyoso juga berkesempatan meraih karirnya. Jabatan kepala seksi, misalnya, justru lebih tepat dijabat orang buta. Misalnya Kepala Seksi Alih Huruf, yang kini dijabat Irjanto Tedjo BA.

Dalam proses distribusi, buku braille harus diperlakukan khusus. Kiriman ini tidak boleh ditumpuk di bawah kiriman lain. Bila tertimpa kiriman lain, titik titik timbul yang menjadi simbol huruf bakal tertekan. Buku menjadi tak layak dibaca, karena satu titik saja hilang abjadnya berubah. Untuk amannya, buku-buku braille disimpan dengan cara berdiri.

Riwayat BPBI Abiyogo bermula dari hasil penelitian M.J. Lendrik, Direktur Instituut tot Onderwijs aan Blinden (sebuah lembaga swadaya masyarakat untuk orang buta) pada 1900. Saat itu Lendrik mengamati tunanetra di Indonesia sangat banyak. Untuk membantu mereka, Lendrik menyarankan mendirikan lembaga pendidikan khusus tunanetra. Setahun kemudian, pemerintah Belanda mendirikan Blinden Instituut, atau dikenal sebagai Lembaga Rumah Buta.

Lokasinya di Jalan Cicendo Nomor 2, Bandung, kini tempat berdiri Rumah Sakit Mata Cicendo. Peresmian lembaga ini dilakukan Dr. Westhoff pada 16 September 1901. Untuk memenuhi kebutuhan bacaan dan pengajaran di Rumah Buta itu, dibuka juga satu unit percetakan. Inilah yang dalam perkembangannya menjadi BPBI Abiyoso --yang mengambil nama tokoh wayang, Begawan Abiyoso, yang berputrakan Destarata yang tunanetra.

Dari lokasi semula di Jalan Cicendo, Bandung, BPBI Abiyoso kemudian hijrah ke lahan lebih luas di bilangan Leuwigajah, Cimahi. Di lokasi seluas satu hektar ini berdiri gedung kantor dan percetakan. Di kompleks itu ada pula perpustakaan tempat mengoleksi hasil-hasil BPBI Abiyoso. Perpustakaan ini terbuka untuk umum --artinya kaum tunanetra.

Salah satu pengunjung setia perpustakaan ini adalah Nadiah Sahrifah. Perempuan berusia 26 tahun yang tinggal di Jalan Kopo, Bandung, ini mengaku rutin berkunjung sebulan sekali. "Untuk menambah pengetahuan," katanya. Salah satu bacaan favoritnya adalah Majalah Gema Braille. "Saya suka membaca cerita pendek yang dibuat oleh sesama tunanetra," katanya. Majalah yang terbit sejak tahun 1959 ini tidak memuat berita politik.

Kini BPBI Abiyoso tak hanya mencetak buku. Mereka juga menghasilkan kaset rekaman untuk para tuna netra. "Buku bicara", begitu istilah yang dipakai untuk menyebut kaset tersebut. Isinya petunjuk praktis yang bisa dilakukan kaum tunanetra. Misalnya, petunjuk membuat makanan, mengolah tanaman, dan sebagainya. Tiap tahun, rata-rata 40 "Buku Bicara" dihasilkan.

Berkat selalu membaca buku-buku terbitan BPBI Abiyoso itu, para tunanetra mengaku bertambah pengetahuannya. "Saya bisa menambah pengetahuan untuk bahan ceramah saya," kata Haji Aan Johana, 57 tahun, yang sehari-hari berprofesi sebagai mubalig di Bandung. Haji Aan bersyukur, meski keadaan fisiknya tak lengkap, dia tidak kekurangan rezeki. "Alhamdulillah, saya bisa pergi haji, punya rumah, punya mobil, dan mampu menyekolahkan anak-anak," kata Ketua Ikatan Tunanetra Muslimin Indonesia itu.

[Taufik Abriansyah, dan Sulhan Syafei (Bandung)]

0 komentar: