Microchip di Bola Mata Si Buta

Peneliti Amerika berhasil membuat retina artifisial dari sekeping microchip silikon untuk tunanetra. Cara kerjanya mirip kamera video.

SEBERKAS cahaya harapan mulai berpijar di tengah kegelapan kaum tunanetra. Kebutaan kini bukan lagi menjadi cacat yang tidak terobati. Tim peneliti dari tiga universitas kondang di Amerika -North Carolina State University, University of North Carolina, dan Johns Hopkins University- membuka tahun 1997 dengan mengumumkan keberhasilan mereka menciptakan artificial retina component chip. Microchip sebesar sayatan kecil daun bawang itu terbukti bisa menolong penyandang cacat retinal pigmentosa kehilangan penglihatan karena rusaknya retina.

Upaya membuat retina buatan ini dirintis sejak 1988 oleh Dr. Mark Humayun dan Dr. Eugene de Juan, dua peneliti Johns Hopkins. Mula-mula mereka melakukan eksperimen dengan memberikan rangsangan listrik terhadap saraf ganglia, yang terletak di bagian belakang kumpulan sel retina di bagian belakang bola mata para tunanetra. Ternyata muncul respons yang mencengangkan. Para tunanetra itu merasa dirinya melihat seberkas cahaya di mata mereka.

Atas dasar penelitian itu, Humayun dan de Juan menyimpulkan bahwa saraf ganglia kaum tunanetra itu bisa jadi masih berfungsi baik meski sel retina mereka rusak. Mereka lalu berhipotesis, bila ada alat yang bisa berfungsi seperti retina mengirimkan sinyal elektrik ke ganglia itu, pasien tunanetra itu bisa melihat kembali. Sederhana. Maka mereka pun meminta Dr. Wentai Liu, profesor bidang mikorelektrik di North Carolina State University dan Elliot McGucken, pakar chip University of North Carolina di Chapel Hill, untuk merancang sebuah retina buatan.

Tentu merancang retina artifisial dengan spesifikasi yang rumit itu bukan urusan sepele. ''Kami menghadapi masalah yang kompleks,'' kata Liu. Salah satu hal diperhitungkan oleh Liu adalah aspek biokompatibilitasnya - kesesuaiannya dengan tubuh manusia. Agar tak terjadi reaksi penolakan, Liu dan McGucken memilih silikon, bahan yang telah terbukti cocok untuk ditanam di tubuh manusia. Ukuran microchip itu juga harus kecil agar bisa dicangkokkan ke bola mata tanpa mengganggu bagian lainnya.

Liu dan McGucken lalu mendesain retina buatan itu dari sekeping chip silikon yang dilapisi dengan sel fotosensor dan elektroda di bagian luarnya. Ukuran chip itu amat mungil: besarnya cuma 2 mm persegi dan tebalnya 0,02 mm -lebih tipis dari kertas tisu. Kendala rumit yang menghadangnya adalah problem sumber tenaga listriknya untuk menjalankan microchip itu. Liu dan McGucken sempat berpikir tentang baterai. Tapi sulit merancang baterai dalam ukuran mikro. Lagi pula baterai itu harus tahan terhadap kondisi mata yang basah dan mengandung garam. Masalah lainnya, pasien harus dioperasi secara berkala untuk mengganti baterai bila telah soak.

Akhirnya Liu dan McGucken memilih sel fotovoltaik sebagai sumber listriknya. Komponen yang biasa disebut solar cell itu ditempelkan pada sisi luar microchip. Dengan sel fotovoltaik ini, selain tahan kondisi basah, juga tak perlu lagi operasi penggantian baterai. Ia cuma butuh cahaya yang bisa dipasok melalui lensa mata. Bila daya di sel surya ini mulai melemah, pengisiannya mudah: tinggal ditembak dengan sinar laser dari luar.

Retina buatan ini nantinya ditanamkan di pusat penglihatan di retina, tepat di depan saraf ganglia. Cara kerjanya mirip dengan kamera video. Sinar yang masuk melalui bola mata tunanetra itu ditangkap oleh sensor cahaya, kemudian diubah oleh elektroda menjadi sinyal listrik dengan pola khas -sesuai dengan intensitas dan spektrum cahaya yang mengenainya. Microchip itu membantu mendekonstruksikan cahaya masuk, yang pada hakikatnya ialah bayangan benda itu.

Denyut listrik itu kemudian diteruskan ke sebuah lempeng yang akan merangsang saraf ganglia. Lempengan yang dipasang di antara elektroda dan saraf ganglia itu berfungsi pula melindungi serabut mata agar tak rusak oleh arus listrik. Saraf ganglia kemudian meneruskan sinyal itu ke otak, yang akan merekonstruksikan impuls listrik itu menjadi gambar atau wujud benda.

Retina buatan itu sudah diuji Universitas Negeri North Carolina pada pasien secara terbatas. Hasilnya menggembirakan. ''Walau gambar yang dihasilkan masih buram, retina buatan ini bisa menghadirkan sosok benda yang di depan mata si buta,'' kata McGucken. Kini Liu dan McGucken masih sibuk menyempurnakannya.

Pertengahan tahun ini prototipe retina buatan ini dikirim ke Johns Hopkins untuk diuji biokompatibilitasnya oleh Humayun dan de Juan.

Kalau tak ada persoalan penolakan tubuh, microchip ini akan diuji pada mata manusia secara lebih luas. Masih butuh waktu cukup panjang sebelum alat ini bisa diproduksi untuk umum, dan menolong penderita kebutaan retinal pigmentosa, yang jumlahnya diperkirakan 10 juta orang di seluruh dunia.

Bambang Sujatmoko

0 komentar: