BAGI para penyandang cacat tubuh, Stasiun Gambir kini terkesan lebih ramah. Stasiun kereta api terbesar di Jakarta, yang terletak di sisi timur pelataran Monumen Nasional, itu telah dilengkapi beberapa fasilitas khusus untuk mereka. Bagi para tunanetra, misalnya, begitu memasuki pintu utama, mereka tinggal memijit bel di sisi kiri.
Petugas khusus akan segera datang membantu. Misalnya: membimbing mereka ke loket penjualan karcis, menunjukkan kamar kecil, hingga menuntun naik ke gerbong kereta api. Mereka juga bisa membaca petunjuk berhuruf braille, yang terpasang di pegangan semua eskalator atau tangga berjalan. Di situ, antara lain, ditunjukkan arah loket, jalur kereta, ruang tunggu, dan pintu keluar.
Untuk penyandang cacat berkursi roda, tersedia kamar kecil, wastafel, dan telepon umum yang dirancang khusus. Masing-masing diberi tanda bergambar... ya kursi roda. Di antara deretan bilik di peturasan, baik untuk pria maupun wanita, ada pula satu bilik yang didesain berbeda. Pintu kamar kecil lain membuka ke dalam, sedangkan pintu bagi penyandang cacat membuka ke luar.
Ukuran pintu itu juga dibuat lebih besar, sehingga para pengguna kursi roda bisa masuk dengan leluasa. Di bilik khusus itu juga terpasang pegangan besi. Wastafel bagi penyandang cacat dibuat sekitar 15 sentimeter lebih rendah daripada wastafel yang lain, agar bisa dijangkau dari kursi roda. Begitu juga dengan telepon umum.
Untuk membantu para penyandang cacat itu, manajemen Stasiun Gambir saat ini mempekerjakan 30 petugas yang telah dilatih khusus. Untuk melayani para tunanetra, tunarungu, dan pengidap keterbelakangan mental, mereka telah mendapat pelatihan dari para guru dari sekolah luar biasa. Sedangkan untuk melayani para tunadaksa, yang umumnya berkursi roda, para petugas itu mendapat "pembekalan" dari para pelatih dari Yayasan Stroke Indonesia.
"Kami berharap, para calon penumpang penyandang cacat kini bisa lebih nyaman," kata Kepala Stasiun Gambir, Bey Aris. Gambir kini memang jadi satu-satunya stasiun kereta api di Tanah Air yang dilengkapi fasilitas bagi para penyandang cacat. Bahkan, kabarnya, nanti di sana dibangun pula tangga berputar khusus bagi pengguna kursi roda yang harus naik ke lantai atas, seperti di Hong Kong.
Adalah Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia (HWPCI) yang menggagas proyek kemanusiaan ini, melalui perjuangan yang cukup panjang. "Tujuan kami sederhana: ingin hidup mandiri tanpa membebani orang lain," kata Hajah Ariani Abdul Mun'im, Ketua Umum HWPCI, pencetus gagasan itu. Ariani membentuk HWPCI bersama belasan temannya pada 9 September 1997.
Organisasi sosial itu berkantor di Jalan Cempaka Putih Raya, Jakarta Pusat. Idenya membentuk wadah penyandang cacat muncul sepulang dari Maryland, Amerika Serikat, setelah mengikuti International Leadership Forum for Women With Disabilities. Dalam forum itu, negara-negara Asia Pasifik, termasuk Indonesia, dianggap belum berhasil mengangkat nasib wanita penyandang cacat.
"Di sini jangankan wanita, pria cacat saja masih terabaikan," kata wanita penyandang cacat netra itu. Ariani kehilangan penglihatannya akibat rabun sejak remaja. "Saya cuma bisa membaca sampai tamat sekolah lanjutan tingkat pertama," tuturnya kepada Mariana Ariestyawati dari Gatra. "Setelah itu harus dibacakan orang lain, karena tak bisa melihat lagi," ia menambahkan, tanpa merinci penyakitnya.
Toh, wanita kelahiran Malang, Jawa Timur, 30 Desember 1945, itu mampu menyelesaikan sekolah menengah umum. Bahkan berhasil menggondol ijazah sarjana antropologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Tak cuma itu. Abdul Mun'im, sang suami yang telah diberinya tiga putri itu, pun digaetnya semasa ia aktif di Dewan Mahasiswa UGM.
Setamat kuliah, 1966, Ariani langsung menerjuni kegiatan sosial dengan menjadi pengurus Persatuan Tunanetra Indonesia Cabang Yogyakarta. Berkiprah di lembaga itu membuat Ariani makin mengenali pribadi para penyandang cacat. Ia yakin, potensi para penyandang cacat sebenarnya tak berbeda dengan manusia normal. "Secara inteligensia, mereka normal," ujarnya.
Kalau hambatan fisik mereka bisa diatasi, kata Ariani, "Mereka bisa berkarya seperti yang lain." Namun, perhatian masyarakat kepada mereka sangat kurang. Lebih-lebih kepada kaum cacat wanita, yang dalam keadaan normal pun masih berhadapan dengan soal diskriminasi gender.
Ariani berharap, melalui wadah HWPCI yang dipimpinnya, para wanita penyandang cacat mampu memotivasi diri untuk meningkatkan perannya di masyarakat. Saat ini, katanya, di Indonesia terdapat sekitar 5,5 juta wanita penyandang cacat. Sejak dibentuk, kata Ariani, HWPCI terus berupaya mengampanyekan gerakan aksesibilitas umum bagi penderita cacat.
"Untuk bisa berpartisipasi penuh di masyarakat, kami perlu akses dengan berupaya menanggulangi rintangan hidup," katanya. Pembangunan fasilitas umum di kota-kota, selama ini, dianggapnya tidak memperhatikan keterbatasan para penyandang cacat. "Padahal, para penyandang cacat dijamin undang-undang untuk mendapatkan fasilitas itu," kata Ariani.
Ia lalu menunjuk Undang-Undang Nomor 4/1997 tentang Penyandang Cacat. Salah satu pasalnya berbunyi: "Penyediaan aksesibilitas bagi penyandang cacat dapat berupa sarana fisik dan nonfisik. Antara lain, sarana dan prasarana umum yang diperlukan mereka untuk memperoleh kesamaan kesempatan." Bertolak dari jaminan hukum itu, Ariani menggagas konsep pembangunan fasilitas kota yang bisa menolong kesulitan hidup para penyangdang cacat.
Ia memimpikan, kelak sarana umum seperti stasiun, terminal, dan alat transportasi massa dilengkapi fasilitas khusus bagi orang-orang yang secara fisik tidak beruntung. Bersama Persatuan Penyandang Cacat Indonesia -organisasi induk HWPCI- Ariani berusaha melobi para pejabat. Konsep "Pembangunan Kota untuk Semua", yang digagas Ariani, ternyata didukung Ikatan Arsitektur Indonesia.
Para arsitektur menyatakan bersedia merancang desain fasilitas kota bagi para penyandang cacat. "Saya menyampaikan gagasan ini sejak HWPCI dibentuk," kata Ariani. "Tapi, banyak pejabat tak tertarik." Namun, tekad keras Ariani ternyata disambut hangat Ibu Negara, Nyonya Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, dan Menteri Perhubungan, Agum Gumelar.
Setelah itu, Ariani menyampaikan gagasannya kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Presiden pun ternyata tak keberatan. Maka, pada 4 Juni 2000, dicanangkanlah Gerakan Aksesibilitas Umum Nasional di Stasiun Gambir, langsung oleh Presiden Wahid. Stasiun Gambir dijadikan proyek percontohan, karena kereta api dianggap alat transportasi massal yang murah dan paling merakyat. "Kelak, tempat- tempat sarana umum lain diharapkan bisa mengikutinya," kata Ariani.
Endang Sukendar
0 komentar: